"HARIMU HANYA HARI INI"
Oleh: Fachrur
Rizal
Bismillahirrahmanirrahim...
Assalamu'alaikum...Ikhwani
Fillah...
DR. ‘Aidh bin Abdullah al-Qarni
dalam bukunya “Laa tahzan” memberikan nasehat kepada kita, bahwa
jika kita berada di pagi hari, janganlah pernah menunggu sore tiba. Karena hari
inilah yang akan kita jalani, bukan hari kemaren yang telah berlalu dengan
segala kebaikan dan keburukannya, dan bukan pula hari esok yang belum tentu
akan datang. Hari yang saat ini mataharinya menyinari kita, dan siangnya
menyapa kita, inilah hari yang kita miliki sesungguhnya.
Mungkin umur kita tinggal hari
ini, atau anggaplah masa hidup kita hanya hari ini, atau seakan-akan kita
dilahirkan hari ini dan akan mati pada hari ini juga. Dengan begitu hidup kita
tidak akan tercabik-cabik diantara gumpalan keresahan, kesedihan, dan duka masa
lalu dengan bayangan masa depan yang penuh ketidakpastian dan bahkan acapkali
menakutkan. Karena itu, pada hari ini, curahkanlah seluruh perhatian,
kepedulian, dan kerja keras kita. Pada hari ini kita harus bertekad untuk
mempersembahkan kualitas sholat yang paling khusu’, bacaan al-Qur’an yang sarat
tadabbur, dzikir dengan sepenuh hati, keseimbangan dalam segala hal, keindahan
dalam akhlak, kerelaan dengan semua yang Allah berikan, kepedulian terhadap
keadaan sekitar, perhatian terhadap kesehatan jiwa dan raga, serta perbuatan
baik terhadap sesama. Hadirin yang mulia, pada hari ini, sebaiknya kita membagi
waktu dengan bijak, berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan, tanamlah kebaikan
sebanyak-banyaknya, bertobatlah atas semua dosa yang pernah kita lakukan,
ingatlah selalu kepada Allah, bersiap-siaplah untuk menuju sebuah perjalanan
alam keabadian, dan nikmatilah hari ini dengan segala kesenangan dan
kebahagiaan! Terimalah rezeki yang Allah berikan kepada kita, istri, anak-anak,
pekerjaan, ilmu, kedudukan, dan jabatan yang kita miliki dengan keridhaan dan
penuh rasa syukur.
148. Dan
bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti
Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Baqarah, [2]: 148).
Artinya: “Dan bahwasanya seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya.” (QS. An-Najmi,
[53]: 39)
Hiduplah hari
ini tanpa kesedihan, kegalauan, kemarahan, kedengkian, dendam, dan kebencian.
Jangan lupa untuk menggoreskan di dinding hati kita suatu kalimat: bahwa
“Harimu adalah hanya hari ini”. Karena dengan kalimat itu, kita akan semakin
percaya diri, dan kita akan memiliki semangat dan tekad hidup yang kuat, untuk
selalu memamfaatkan waktu yang ada, dengan menyibukkan diri untuk selalu
memperbaiki keadaan, mengembangkan segala potensi yang kita miliki, dan
mensucikan setiap amalan yang kita lakukan. Hadirin yang mulia, dengan kalimat
bahwa “Harimu adalah hanya hari ini”, berarti hanya pada hari ini kita
mempunyai kesempatan untuk mengatakan yang baik-baik, dan tidak akan pernah
terucap dari lisan kita kata-kata kotor dan jorok yang menjijikkan, tidak akan
pernah mencela, menghardik, dan juga membicarakan kejelekan saudara-saudara
kita yang lain. Hanya pada hari ini kita punya kesempatan untuk membina
keluarga dengan jalinan cinta dan kasih sayang, serta menjalin hubungan yang
baik dengan tetangga, sahabat, atasan, dan atau bawahan kita di kantor tempat
kita bekerja.
Karena kita
hanya akan hidup hari ini, mari kita terus berusaha sekuat tenaga untuk selalu
dekat dan ta’at kepada Allah, menanamkan dalam hati semua nilai keutamaan, dan
mencabut semua akar kejahatan yang ada, seperti sifat takabbur, ujub, riya’
buruk sangka, iri hati dan dengki. Selagi hari ini kita bisa menghirup udara
kehidupan, mari kita gunakan untuk berbuat baik kepada orang lain, mengulurkan
tangan kepada siapapun, menjenguk keluarga, tetangga, dan teman yang sakit,
memberi nasehat dalam kebenaran dan kesabaran, memberi makan orang-orang yang
kelaparan, menolong orang yang menghadapi kesulitan, membantu orang yang
teraniaya dan terzhalimi, meringankan beban penderitaan orang-orang yang lemah,
mengasihi dan menyayangi istri dan anak-anak kita, serta berbakti kepada kedua
orangtua, terutama ibu yang dengan segala pengorbanannya telah mengandung,
melahirkan, mendidik, dan membesarkan kita.
Hari esok belum tentu menjadi
milik kita, karena itu, janganlah sekali-kali pernah bermain dengan khayalan
dan apalagi menjual diri hanya untuk sebuah dugaan yang tidak pasti. Jangan
sekali-kali kita memburu sesuatu yang belum tentu ada, karena mungkin esok hari
tidak akan ada sesuatu. Esok hari adalah sesuatu yang belum diciptakan, dan
tidak ada satupun darinya yang dapat disebutkan. Kalaupun hari esok akan
datang, maka biarkanlah masa depan itu datang dengan sendirinya. Janganlah
cemas dengan sesuatu yang berlum terjadi, dan sebagai orang yang beriman,
janganlah pernah berputus asa dari rahmat Allah.
Artinya: “Katakanlah: "Hai
hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Az-Zumar, [39]: 53).
Artinya: 1. Demi masa. 2.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. Kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Al-Asyr, [103]:
1-3).
Semoga Allah senantiasa memberikan
petunjuk, bimbingan, dan kekuatan kepada kita semua, agar kita dapat
menjalankan tugas dan tanggungjawab kita dalam hidup ini, baik
sebagai hamba Allah, maupun sebagai khalifah di muka bumi ini.
Akhirnya kepada Allah kita semua mohon ampun, dan kepada Allah jua kita
berserah diri. “Hasbunallah wani’mal wakiil, laa hawlaa kuwwata
illaa billaahil a’liyyin a’zhiim”.
Alhamdulillahirabbil'alamin...
Wassalamu'alaikum...
Created By : Fachrur Rizal (Pelopor dan Sekretaris Danion UKM DB GSK 2013-2014)
SUKSES DENGAN KESABARAN
DI AKHIR RAMADHAN
Oleh: Fachrur Rizal
Bismillahirrahmanirrahim...
"Hanya dengan Sikap Sabarlah yang akan mengalahkan
semua hal yang dapat menjerumuskan dan larut dalam sebuah musibah". Maka dari itu sobat yang budiman, silahkan baca hasil karya yang
sederhana ini. Mudah-mudahan dapat bermanfaat. Amiin...
Di Bulan Ramadhan yang penuh barokah serta ampunan
ini, Allah SWT telah menuntut kita semua para kaum muslimin untuk senantiasa
bersabar dari segala apapun yang dapat membatalkan serta mengurangi nilai-nilai
pahala ibadah kita di Bulan Ramadhan ini. Bulan Ramadhan sering di sebut juga
dengan Syahru As-Sabru atau yang biasa di sebut dengan
bulan kesabaran. Sesuai dengan apa yang telah dikatakan oleh Rasullah SAW,
bahwa "Setengah dari bulan puasa itu adalah kesabaran".
Nah, di bulan ini kita semua di tekankan agar dapat
mengendalikan emosi, tingkah laku, juga aktivitas kita dengan di iringi sikap
sabar yang penuh. Baik itu bersabar untuk tidak makan dan minum, bersabar untuk
tidak berhubungan suami-istri di siang hari, bersabar untuk tidak menggunjing
perbuatan jelek orang lain, bersabar untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang
tidak baik, bersabar untuk tidak menyakiti orang lain, bersabar untuk menahan
hawa nafsu, dan bersabar dari segala apa yang dapat menggugurkan nilai-nilai
ibadah puasa kita serta sederet banyaknya sikap sabar lainnya.
Apabila seorang mukmin dapat melaksanakan ini semua
dengan berhasil, tentunya seorang mukmin tersebut akan mendapatkan gelar dari
Allah SWT dengan mengangkat derajat, kedudukan, serta kehormatan yang tinggi
terhadap diri seorang mukmin tersebut.
Dari berbagai contoh kasus yang mungkin pernah kita
dengar dari beberapa penceramah, ahli sejarah ataupun dari sebuah buku bacaan
yang banyak menceritakan tentang orang-orang yang selalu bersikap sabar dalam
menghadapi musibah yang datang dalam kehidupannya. Sebut saja Baginda
Rasulullah SAW, yang kala itu ketika beliau sedang men-Syiar-kan Agama
Islam, berbagai masalah datang menghampirinya di tengah-tengah perjuangan
beliau. Masyaallah, dalam perjuangan beliau tidak sedikit
para kaum yahudi (kafir) menghalangi dakwah beliau dengan cara melemparinya
dengan batu, kotoran, air ludah, ingin di bakar hidup-hidup, serta lebih ironinya
lagi kaum yahudi mengejar dan mencari Nabi Muhammad untuk di bunuh. Naudzubillahimin Dzalik...
Namun, dengan semua perbuatan orang-orang
kafir tersebut
kepadanya, lantas apa yang di lakukan oleh
Rasulullah?... Subhanallah, Rasulullah hanya menanggapinya
dengan sikap sabar dan ikhlas serta senantiasa mengangkat kedua belah tangannya
untuk seraya berdo'a kepada Allah agar orang-orang yang telah menyakiti beliau
mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Maha suci Allah yang telah memberikan
hidayah serta petunjuknya kepada setiap hambanya.
Mungkinkah sikap sabar yang dimiliki oleh
Rasulullah tersebut bisa kita miliki juga? mudah-mudahan
kita dapat meneladani sikap sabar Rasulullah terhadap kita semua. Amiin...
Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an, QS. Ali-Imran: 200, yang mana
artinya adalah sebagai berikut:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu
dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu)
dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung”.
Dalam hal ini, Allah SWT memang sangat menegaskan
dan memerintahkan kepada kita untuk selalu senantiasa bersabar dan mengeuatkan
kesabaran kita. Karena untuk menjadi orang yang sabar, tidaklah mudah seperti
halnya membalikkan kedua
telapak tangan, membutuhkan keteguhan,
kesungguhan dan kekuatan hati. Sepertinya kata sabar ini sangatlah mudah di
katakan namun sulit sekali untuk dapat mengaplikasikannya ke dalam kehidupan
sehari-hari. Akan tetapi, Allah telah menyediakan beragam hadiah
yang sangat menarik bagi orang-orang mukmin yang senantiasa bersabar dan
menguatkan kesabarannya. Adapun hadiah tersebut adalah pahala yang tak
terbatas, senantiasa mendapatkan kebersamaan Allah SWT, dan selalu dalam
keadaan yang baik. (Team Pustaka Zeedney “ Kultum Ramadhan Penggugah Iman” hal: 20,21) mari kita uraikan satu persatu berikut ini:
1.
Pahala yang tak terbatas
Seperti
halnya di Bulan Ramadhan, bahwa Allah akan menjanjikan
pahala yang sangat besar bagi hambanya yang berpuasa. Begitu juga bagi
orang-orang yang senantiasa bersabar maka Allah akan menjanjikan pahala yang
amat besar serta tidak terbatas. Sesuai dengan apa yang Allah tegaskan di dalam
Al-Qur’an, QS. Az-Zumar:10. Sebagai berikut:
Artinya: “....Sesungguhnya hanya orang-orang yang
bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.
2.
Senantiasa mendapatkan kebersamaan Allah SWT
Orang-orang
yang bersabar akan senantiasa disertai, dan dilindungi oleh Allah SWT. Artinya,
segala cinta-Nya, rahmat-Nya, anugrah-Nya, naungan-Nya, bimbingan serta hidayah-Nya akan selalu menyertai bagi orang-orang yang
bersabar. Maka sungguh beruntunglah seorang mukmin yang mendapatkannya.
Didalam QS. Al-Baqarah:153
Allah berfirman: “... Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.
3.
Selalu dalam keadaan yang baik
Apapun
yang dikerjakan dan dilakukan oleh seorang mukmin di segala aktivitasnya akan
selalu berbuah sebuah kebaikan jika di sertai dengan ikhlas, syukur dan sabar.
Karena seorang mukmin dengan rasa syukur dan bersabarnyalah akan senantiasa selalu siap dengan segala ketentuan dan
keputusan yang Allah berikan kepada hambany. Jika yang di terima seorang mukmin itu adalah sebuah
kesenangan, kebahagiaan, serta kebaikan-kebaikan yang tiada tara, maka seorang
mukmin itu akan senantiasa mengucapkan rasa syukur dengan sepenuh hati. Akan
tetapi, apabila yang terjadi sebaliknya, maka mukmin tersebut tidak akan pernah
mengeluh dan berlarut dalam kesedihannya akan tetapi senantiasa menerima semua
itu dengan lapang dada dan berusaha untuk tetap tabah dan bersabar akan
ketetapan dan ketentuan Allah SWT.
Betapa sedihnya kita sebagai umat
Islam karena tidak terasa Bulan Ramadhan sebentar lagi akan segera meninggalkan
kita. Oleh karena itu, mari kita tinggalkan kenangan-kenangan yang baik di
Bulan Ramadhan ini dengan selalu berbuat kebaikan dan meningkatkan kualitas
ibadah kita. Karena semakin berakhirnya Bulan Ramadhan ini maka Allah
menyediakan pahala-pahala yang besar bagi hamba-Nya yang beriman.
“Hai orang-orang yang
beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah; 153).
Nah, mudah-mudahan di detik-detik berakhirnya Bulan
Ramadhan ini, kita berhasil dan sukses dalam menjalankan semua amal ibadah kita
dengan senantiasa mengaharapkan keridhoan dan hadiah yang Allah SWT janjikan
untuk hamba-Nya yang senantiasa bersabar. Agar kita dapat mencapai predikat hamba yang Muttaqin
(orang-orang yang bertaqwa). Amiin...
Alhamdulillahirobbal’alamin…
Created By : Fachrur Rizal
(Pelopor dan Sekretaris Danion UKM DB GSK 2013-2014)
MEMBANGUN MASA DEPAN ANAK
SEBAGAI TANGGUNGJAWAB BERSAMA
Oleh: Fachrur Rizal
Dewasa ini, kita semua merasa prihatin dengan
terjadinya kerusakan moral dan akhlak di kalangan generasi
muda kita, seperti semakin maraknya aksi tawuran, minum-minuman
keras, menkonsumsi NARKOBA, pergaulan bebas, pornografi, pornoaksi, dan
berbagai prilaku menyimpang lainnya. Para orangtua, hendaknya merasa khawatir
kalau kondisi ini akan terjadi kepada anak-anaknya. Para orangtua mestinya
bertanya, dengan siapa anaknya bergaul?, kemana mereka pergi? dan apa yang
mereka lakukan di luar sana?. Sebab sudah begitu banyak generasi muda kita yang
menjadi korban penyakit HIV/AIDS, hamil di luar nikah, melakukan praktik
aborsi/menggugurkan kandungan, dan bayi-bayi lahir tanpa status hukum yang
jelas, siapa yang menjadi walinya dan bagaimana hak warisnya nanti. Belum lagi
setelah besar nanti mereka akan mempunyai beban psikologis dengan mendapat
stigma sebagai anak haram atau anak gampang. Hadirin yang mulia, hal ini tidak
boleh terjadi pada anak-anak. Karena jika terjadi, maka hancurlah kehidupan dan
harapan masa depan mereka.
Baru-baru ini, saya mendapat informasi dari seorang
teman, bahwa setiap harinya tidak kurang dari 3 sampai 4 orang pelajar
setingkat SMP/SMA yang berobat ke rumahnya karena penyakit spilis/kelamin.
Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, ada sekelompok anak pelajar yang
patungan menyewa rumah kontrakan, kemudian mereka melakukan pesta seks secara
bergiliran terhadap teman perempuannya. Hadirin yang mulia, kasus ini
sudah terjadi di daerah kita, dan ini merupakan fenomena “gunung es”, baru
sedikit kasus yang terungkap ke permukaan, tetapi jumlah yang sesungguhnya jauh
lebih besar dan lebih mengerikan lagi. Na’uzubillah min zaalik.
Ada tanggungjawab yang besar dipundak kita
semua, untuk menentukan ke arah mana masa depan mereka akan kita
bawa. Kita harus menyadari, bahwa mereka adalah aset sekaligus
investasi masa depan. Mempersiapkan mereka berarti mempersiapkan masa
depan masyarakat, bangsa dan Negara kita. Oleh karena itu, kita harus
mempersiapkan mereka sejak dini, karena kuat atau tidaknya generasi yang akan
datang, sangat bergantung pada seberapa besar kita mampu meletakkan pondasi dan
kerangka bangunan anak sehingga tidak digilas dan tertindas oleh arus perubahan
zaman yang semakin mencenkram dan menakutkan. Sebab jika tidak,
maka kita akan kehilangan satu generasi, dan itu berarti
sebagai pertanda kematian obor kehidupan di masa yang akan datang.
Sebenarnya hal-hal seperti itu tidak perlu kita khawatirkan jika anak-anak
sudah kita bentengi dengan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, dan akhlak yang
mulia. Disinilah pentingnya pendidikan agama untuk diberikan
kepada mereka sejak usia dini, baik melalui lembaga pendidikan
keluarga, sekolah, maupun di masyarakat. Keluarga adalah lembaga
pendidikan yang pertama dan utama dalam pembentukan kepribadian anak.
Sebab di dalam keluargalah nilai dan norma agama pertama kali diberikan kepada anak.
Sadarilah, bahwa anak merupakan amanah (titipan) Allah agar para orangtua
membesarkan, sekaligus mendidiknya menjadi manusia yang taat, patuh dan mampu menjadi
khalifah Allah di muka bumi. Allah Swt. memperingatkan kepada kita selaku
orangtua sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar.” (An-Nisa’ [04]: 9).
Dalam banyak kasus, prilaku menyimpang pada anak, sering kali terjadi
disebabkan oleh ketidakwaspadaan orangtua untuk menjaga fitrah keberagamaan
anak. Apalagi dengan kondisi keluarga yang berantakan, lemahnya pengawasan,
kurangnya perhatian dan kasih sayang, serta tidak adanya keteladanan orangtua,
tentu akan menyebabkan anak semakin kehilangan pegangan, kendali, dan arah yang berakibat pada tindakan-tindakan yang menyimpang dan menyesatkan. Para
orangtua, selainberkewajiban memberikan pengetahuan dan pemahaman agama,
juga memberikan bimbingan dan keteladanan kepada anak dalam
mengamalkan ajaran agamanya. Para orangtua pun hendaknya berhati-hati,
dengan selalu memberikan nasehat, mengawasiserta membatasi
pergaulannya jangan sampai anak-anak ikut terjerumus, termasuk dari pengaruh
teknologi dan informasi yang bertentangan dengan
nilai-nilai agama. Itulah sebabnya Allah memperingatkan kepada kita sebagaimana
firman-Nya:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka....” (At-Tahriim [66]: 6).
Selain di lingkungan keluarga, sekolah harus mampu menciptakan suasana yang mendukung bagi terselenggaranya pendidikan agama yang efektif, serta adanya
keterpaduan antara asfek pengetahuan, keterampilan, maupun sikap. Pendidikan
agama tidak boleh hanya dibebankan kepada guru agama semata, tetapi harus
menjadi tugas dan tanggungjawab bersama antara kepala sekolah dan
semua dewan guru. Seorang guru tidak hanya memberikan atau menyampaikan materi
semata, akan tetapi seorang guru harus mampu memberikan pesan-pesan moral yang
dapat membangkitkan dan merubah prilaku, akhlak dan budi pekerti seorang anak. Agar
menjadi seorang anak yang dapat patuh dan taat terhadap orang tua, guru dan
masyarakat khususnya.
Demikian pula dengan masyarakat, harus memiliki kepedulian terhadap segala hal yang positif dan
dibutuhkan oleh anak dalam proses pembentukan kepribadiannya, dan sekaligus
mampu memberikan kontrol yang ketat serta berupaya untuk mengatasi terhadap
segala kemungkinan yang akan berakibat buruk bagi anak. Minimnya
pendidikan agama yang diberikan oleh orangtua di dalam keluarga, serta terbatasnya
waktu dan pelayanan pendidikan agama yang diberikan di
sekolah, hendaknya harus diimbangi pula dengan upaya peningkatan pendidikan
agama di dalam masyarakat.
Dengan kerjasama yang baik antara orangtua, sekolah, dan masyarakat, serta
dukungan yang maksimal dari pemerintah, maka insyaAllah kita akan mampu
mencetak generasi emas, yaitu anak-anak yang cerdas intlegensinya, cerdas
emosionalnya, dan cerdas spiritualnya. Sehingga pada saatnya nanti mereka
akan mampu menjadi pemimpin yang tangguh, berkualitas, dan berkarakter.
Akhirnya, semoga Allah selalu memberikan petunjuk dan bimbingan-Nya kepada kita semua, dalam mengemban
amanah yang sangat mulia ini. Amiin…
Created By : Fachrur Rizal
(Pelopor dan Sekretaris Danion UKM DB GSK 2013-2014)
PERSPEKTIF IKHWAN Al-SHAFA TENTANG
PENDIDIKAN ISLAM
(IMPLEMENTASINYA DI
PERGURUAN TINGGI ISLAM )
Oleh : Mulyadi
A. Pendahuluan
Daulah Abbasiyah merupakan salah
satu Daulah yang juga merasakan puncak kemajuan Islam, yaitu pada saat pemerintahan
Al-Ma’mun. Tidak sedikit keberhasilan yang dicapai oleh pemerintahannya baik
itu dari segi perluasan (ekspansi) daerahnya dan kemajuan-kemajuan dibidang
pengetahuan. Namun sejalan dengan kemajuan yang dicapainya, tidak sedikit
kemajuan itu menimbulkan permasalahan-permasalahan internal maupun eksternal
pemerintahannya, sehingga muncullah, dengan adanya pergerakan atau kelompok
rahasia yang merahasiakan nama dan bentuk dari kelompok ini yaitu kelompk
Ikhawan al-Shafa.
Kentalnya perspektif keagamaan terhadap pendidikan islam dikalangan para
ahli pendidikan muslim menjadi bingkai perekat pemikiran mereka secara umum. Hanya
saja bingkai etik ini memang belum mampu memunculkan cara pandang yang sama
dalam pola operasionalisasi pendidikan dan dalam fungsi sosialnya, sebagaimana
juga belum mampu menghasilkan kesepakatan dalam penyusunan kurikulum pendidikan
dan kesatuan persepsi tentang sifat dasar dan kebutuhan-kebutuhan murid.
Melihat dari beberapa realita yang
ada saat ini, bahwa tidak sedikit pemikiran-pemikiran para tokoh pendidik
maupun filsafat Barat maupun Muslim banyak diadopsi dan dikembangkan dibanyak
perguruan tinggi. Melihat secara lebih mendalam saat ini, bahwa
pemikiran-pemikiran tersebut juga sudah mulai merambah pada perguruan tinggi
Islam. Seperti halnya pemikiran dari kelompok Ikhwan al-Shafa yang berkaitan
tentang pendidikan. Tentunya, pemikiran mereka akan diadopsi oleh perguruan
tinggi Islam. Setelah melihat Pemaparan latar belakang diatas maka pemakalah memfokuskan
masalah yang akan menjadi penelitian, adapun fokus penelitiannya ialah :
1. Bagaimana
sejarah munculnya kelompok Ikhwan al-Shafa?
2. Bagaimanakah
pemikiran-pemikiran kelompok
Ikhwan al-Shafa khususnya
terhadap pendidikan Islam ?
3. Bagaimanakah
implementasian pemikiran Ikhwan al-Shafa di perguruan
tinggi Islam ?
Adapun
yang menjadi tujuan dari penelitian ini ialah sebagai berikut:
1. Dapat
mengetahui bagaimana sejarah dari Ikhwan al-Shafa
2. Mengetahui
dan dapat memahami bagaimana pemikiran Ikhwan al-Shafa
tentang pendidikan
3. Bisa
menarik kesimpulan tentang pemikiran Ikhwan al-Shafa tentang
Pendidikan Islam
4. Mengetahui
realita yang terjadi bahwa tidak sedikit perguruan tinggi Islam yang banyak
mengadopsi dari pemikiran kelompok Ikhwan al-Shafa
sehingga mempengaruhi pemikiran lulusan dari perguruan tinggi tersebut.
5. Memenuhi
tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam II yang diampu oleh
Dr. H. Moh. Haitami Salim. M.Ag dan asistennya SyamsulKurniawan, M.Si
B. Sejarah
Singkat Munculnya Ikhwan Al-Shafa
Berdirinya Ikhwan
Al-Shafa sebagai
sebuah organisasi gerakan politik keagamaan yang beranggotakan para filosof dan
pemikir syiah yang didirikan pada abad ke-4 H atau 10 M dikota Basra, Baghdad. Kelompok
Ikhwan al-Shafa
memiliki makna yaitu saudara-saudara kemurnian atau biasa dikenal dengan
persaudaraan suci. Kelompok ini juga biasa dikenal dengan sebutan singkat Ikhwanuna atau juga Auliya’ Allah.(Muhsin
labib, 2005 :101)
Ada juga yang
mengenal kelompok ini sebagai ikatan para pemikir (intelektual) yang
menyebarkan filsafat dan sains dengan cara memadukan syariat Islam dengan
filsafat Yunani.
Para
sejarahwan kontemporer
menyimpulkan bahwa Ikhwan al-Shafa merupakan kelompok
terorganisir, terdiri dari para filosof-moralis yang beranggapan bahwa pangkal
perseteruan sosial politik dan keagamaan dan etnik kesukuan dalam masa pemerintahan
al-Mansur, khalifah kedua Daulah Abbasiyah.(Moh. Haitami salim dan Erwin mahrus,
2012 : 131)
Mereka
berusaha keras menghilangkan ragam perselisihan yang terjadi dan menjadi suatu
wadahnya ke dalam
satu madzhab yang inklusif dan berpijak pada ajaran-ajaran yang disyariatkan
dari semua agama dan aliran yang ada. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002 : 146)
Dalam
buku Filsafat Pendidikan Islam Karangan Moh. Haitami salim dan Erwin Mahrus, secara
umum yang menjadi latar belakang munculnya kelompok rahasia, yaitu Ikhwan
al-Shafa
ialah dikarenakan keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran islam yang telah
tercemar oleh ajaran-ajaran dari luar Islam, serta untuk membangkitkan kembali
rasa cinta ilmu pengetahuan dikalangan umat Islam. Kelompok ini juga
merahasiakan nama anggotanya dikrenakan adanya kekhawatiran akan ditindak
penguasa pada waktu itu yang cenderung menindas gerakan-gerakan pemikiran yang
timbul dikarenakan pada masa itu, pemerintahan menganut paham Sunni. Kelompok
ini bergerak secara rahasia dari sekte Syi’ah Isma’iliyah. (Hasyimisyah
Nasution, 2001 : 36)
Dengan demikian
dapat dikatan bahwa kelompok Ikhwan
al-Shafa
pada kenyataannya adalah organisasi yang mempunyai tujuan-tujuan politis
melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui cara radikal revolusioner,
melainkan melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas. Sebab, mereka
sepakat bahwa fenomena kedzaliman, Otoriter dan
Tirani politik tidak akan berlangsung kontinu kecuali akibat merebaknya
kebodohan dan kelalaian mayoritas masyarakat. Dengan diubahnya pola pikir
dan disadarkannya mayoritas masyarakat dari kebodohan dan kelalaian mereka maka
kedzaliman,
Otoriter dan Tirani tidak akan terwujud.
Mutahhari
menyebutkan bahwa ada beberapa tokoh yang berperan penting dalam terbentuk dan
berkembangnya kelompok Ikhwan al-Shafa, yaitu :
1. Abu
Hayyan at-Tauhidi
2. Abu
Sulaiman Muhammad bin Ma’syar al-Basti
3. Abdul
Hasan Ali bin Harun az-Zanjani
4. Abu
Ahmad al-Maharjani al-Ufi
5. Zaid
bin Rifa’ah
6. Ibnu
Maskawaih ar-Razi
7. Isa
bin Zar’ah (w. 398)
8. Abul
Wafa’ al-Buzjani .(Muhsin labib, 2005 :101)
Kemudian dalam
sejarah Islam, kelompok Ikhwan al-Shafa tampil ekslusif
dengan gerakan reformasi pendidikannya. Karena itu, mereka
adalah Ta’limiyyun (bermisi pengajaran) dalam melangsungkan kegiatan
keilmuan dan politiknya. Kecendrungan Ta’limiy ini, sangat tampak dalam
praktek politiknya yaitu dalam pola relasi dan organisasi antar mereka berada
pada penjenjangan dakwah (penyebaran misi). Penjenjangan dakwah dan aksinya meliputi
empat pelapisan :
Lapisan pertama, kelompok remaja dan
pemuda yang berkisar antara 15-30 tahun, kelompok usia ini pertumbuhan dan
perkembangan jiwanya relatif masih selaras
dengan fitrah. Mengingat kelompok usia ini berstatus murid, sepantasnya bila
mereka mengikuti para guru mereka.
Lapisan kedua, kelompok orang
dewasa yang berkisar usia 30-40 tahun. Kelompok ini sudah
mengetahui wisdom[1]
keduniaan dan sudah mampu menerima pengetahuan melalui “simbol”.
Pada tingkatan ini mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih
sayang
dan siap berkorban demi persaudaraan.
Lapisan ketiga, kelompok individu
yang berkisar usia 40-50 tahun. Mereka sudah dapat mengetahui namus ilahiy (malaikat Tuhan) secara
sempurna sesuai dengan tingkatan mereka. Ini adalah tingkatan para Nabi.
Apabila seseorang mendekati usia 50 tahunan, ia meningkat ketingkatan yang lebih
tinggi (keempat, peny) yang memungkinkannya
menyaksikan realitas hakiki segala sesuatu, seperti halnya yang dimiliki para
Malaikat terdekat (muqarrabun).
Lapisan ke empat, adalah tingkatan
tertinggi setelah seseorang mencapai usia 50 tahun keatas. Mereka pada
tingkatan ini sudah mampu memahami hakikat sesuatu, seperti halnya malaikat al-Muqarrabun,sehingga mereka sudah
berada diatas alam realitas, syariat dan wahyu. (Hasyimisyah Nasution, 2001 :
45-46)
Skema pelapisan /
penjenjangan anggota
Gambar 1.1
Dalam pola
klasifikasi lain tentang jenjang dakwah kelompok Ikhwan al-Shafa,
terbagi menjadi :
1.
Al-Abrar
al-Ruhaham’(yang
baik-pengasih), yaitu anggota kelompok yang berusia 15 tahunan. Mereka
mempunyai karakteristik jernih jiwa, murah hati manis kata dan cepat paham.
2.
Al-Akhyar
al-Ruhama’ (yang
terpilih mulia), yaitu anggota kelompok yang berusia 30 tahunan. Mereka bercirikan
concern[2]
terhadap Ikhwan, murah hati, lembut, santun dan peduli pada Ikhwan.
3.
Al-Fudlala’
al-Kiram (yang
mulia-terhormat), yaitu anggota kelompok yang berusia 40 tahunan. Mereka ini
bercirikan otoriatif, direktif dan pemersatu atas pertentangan yang ada dengan
cara bijak, santun dan rekonstruktif.
4.
Al-Balighun
malakutallahi (yang
telah mencapai malakut Allah), yaitu anggota kelompok yang berusia 50 tahunan.
Mereka ini bercirikan kepasrahan total, keteguhan jiwa dan penyaksisan langsung
kebenaran. (Muhammad Jawwad Ridla, 147 : 2002)
Ada
keistimewaan yang dimiliki oleh kelompok Ikhwan al-Shafa,
yaitu mereka menolak fanatisme[3]
dan berpegang teguh pada kebebasan berpikir kritis untuk mencari kebenaran. Mereka menyeru kepada para anggota agar tidak mengabaikan
satu disiplin keilmuanpun, tidak bersikap
antipati[4] terhadap satu kitab pun, atau bersikap fanatic buta tehadap mazdhab
tertentu. Dengan
penentangan total terhadap fanatisme buta dan penerimaan penuh terhadap
keterbukaan dan kebebasan intelektual, mereka mampu mempengaruhi generasi
kurunnya untuk memahami keragaman dan perbedaan pemikiran, serta pluralitas
aliran pemikiran dalam pengembangan dinamika keilmuan dan akselarasi (laju perubahan
percepat) derap langkah kemajuan intlektual-sosialnya.
Kelompok Ikhwan
al-Shafa
mampu memerankan fungsi strategis dalam sejarah gerakan pemikiran Islam dan
memberikan pengaruh positif yang nyata terhadapnya, bahkan para sejarawan
kontemporer pun
mengakui kontribusi besar yang telah diberikan kelompok ini dalam memacu
perkembangan pemikiran Islam yaitu,
berupa :
1. Totalitas
kelompok Ikhwan dalam mengabdi untuk kehidupan intelektual diabad keempat
hijriah, hingga merekalah yang paling lantang dan fasih berbicara tentang
masalah ini
2. Perintisan
program penyusunan karya ensiklopedia pemikiran keislaman, yaitu dengan
risalah-risalah popular mereka
3. Pencerdasan
dan pencerahan masyarakat luas melalui program pengajaran aneka ragam ilmu dan
filsafat.
Tatkala ketika itu,
kekhalifahan
Abbasiyah menggunakan mazhab Syiah dalam pemerintahannya, otomatis mempengaruhi
keperyaan mazhab yang dianut oleh mayoritas penduduknya, dengan demikian akan
membuat semakin sempit gerakan dari kelompok Ikhwan al-Shafa
untuk menyebarkan ajarannya yaitu berupa aliran yang dianut oleh aliran Mu’tazilah
pada saat itu. Namun, kelompok ini tetap memunculkan dirinya meski tetap
mempertahankan kerahasiaan gerakannya.
C. Perspektif
Kelompok Ikhwan Al-Shafa Tentang Pendidikan Islam
Pendidikan
tidak akan pernah terlepas dari ranah berpikirnya filsafat, oleh karena itu
dalam pola Dimensi respon yang dikemukan oleh para pemikir Muslim memiliki tiga
ranah yang biasa kita pahami yaitu:
1.
Fundamentalisme
(memisahkan
antara satu dengan yang lain dari pemikiran barat dan timur)
Gambar 1.2
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Fundamentalisme dimakanai ialah penganut
gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner yang selalu merasa perlu
kembali ke ajaran agama yg asli seperti yang tersurat di dalam kitab suci[5]. Artinya
ialah dalam faham ini, ada unsur ingin memisahkan antara faham dari timur dan
barat. Dalam faham ini, pemikiran dari Barat dan Islam tidak akan bisa berjalan
secara bersama dikarenakan berlainan tujuan. Tujuan yang dimaksud ialah tujuan
dari pemikiran Barat ialah ketenangan di dunia, dan sedangkan pemikiran dari
Islam ialah tidak hanya ketentram di dunia yang ingin didapat melainkan
ketentraman dan keselamatan dunia dan akhirat juga menjadi tujuan akhir merka.
Oleh karena itu, faham dari mereka tidak bisa dikolaborasikan. Faham Barat
tetap pada pendirian mereka dan begitu juga faham dari pemikiran Islam juga
dipertahankan (Al-Quran dan hadis).
2.
Moderat
(Seimbang)
Gambar 1.3
Faham pemikiran yang masuk dalam ranah
moderat ialah bagaimana respon dari para pemikir Muslim yang tidak
mendominasikan pada ranah satu sisi saja seperti Islam maupun Barat, namun
mereka berpikiran bahwa ranahnya melihat dari dua belah sisi yaitu Islam dan
barat. Nah, ini artinya para pemikir yang dimaksud didalam ini ialah mereka
berpikiran secara seimbangan tidak hanya memihak pada satu sisi dimensi saja.
Dalam KBBI Moderat dimaknai ialah selalu menghindarkan perilaku atau
pengungkapan yg ekstrem dan berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah. Dalam hal ini, Dimensi Moderat diklasiyaitu
a.
Moderat
Fundamental
Terkait dalam hal ini, dimensi ranah
pemikiran berangkat dari ketidak memihakkan pada satu dimensi saja melainkan
melihat ranah manfaat pada saat berlangsungnya sebuah proses. Ada kalanya harus
menanamkan dimensi pemikiran moderat dan adakalanya memrlukan penanaman dimensi
Fundamentalisme. Jadi dapat disimpulkan bahwa dimensi moderat fundamental ini
ditanamkan pada saat ranah manfaat suatu proses atau biasa kita maknai sebagai
sesuai dengan situasi dan kondisi. Artinya bisa saja dimensi pemikirannya
meranah kepada moderat dan bisa saja pada ranah dimensi fundamental.
b.
Moderat
Sekuler
Merupakan dimensi yang ranah
berpikirnya lebih kepada menanamkan kepada pemikiran yang menyeimbangkan antara
pemikiran Barat dan Islam. Dalam KBBI moderat Sekuler dimaknai ialah
menyeimbangkan antara unsur yang bersifat duniawi atau kebendaan (Filsafat Barat)
dengan yang bersifat keagamaan atau kerohanian (Islam).
3.
Sekuler
/ Liberal (Pengkolaborasian)
Dalam
dimensi ini, ranah berpikirnya lebih kepada penanam minde side bahwa Islam
sudah pasti ada unsur terkait dalam pemikiran Barat begitu juga pemikiran Barat.
Dalam KBBI mendefinisikan bahwa
Gambar 1.4
paham atau pandangan yang berpendirian
bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama.
Tentunya, jika kita lihat pola dimensi
respon yang ada pada ranah pemikiran itu memiliki tiga dimensi. Sejalan dalam
hal itu, tentunya banyak para pemikir dari abad kesekian hingga ke abad 20 ini,
menyuarakan secara lantang berkaitan dengan sebuah Integrasi. Terkait dalam hal
tersebut, penulis akan mengklasifikasikan bentuk integrasi antara filsafat
(Yunani/ Barat) dengan Islam yang ada hingga sampai saat ini yaitu sebagai
beriktu :
1.
Integrasi
penyekat / pembatas
Gambar 1.5
Dari
gambar diatas, bahwa integrasi atau penyatuan ilmu filsafat Yunani dan Islam
secara keseluruhan berusaha untuk disatukan namun masih tetap ada pembeda
antara keduanya. Seperti halnya antara air dan minyak walaupun mereka meiliki
unsur yang sama namun tetap mereka tidak akan bisa menyatu secara utuh atau
sempurna. Dengan demikian, dalam bentuk integrasi ini, antara filsafat Yunani
dan islam(Timur) tetap disatukan namun tetap ada unsur pembeda atau penyekat
dalam pengintegrasiannya yang diimplementasikan pada ranah dunia pendidikan.
2.
Integrasi kolaborasi /penyatuan secara
keseluruhan
Gambar 1.6
Dalam
hal ini, integrasi kolaborasi ialah menyatukan filsafat Yunani dan Islam
menjadi satu kesatuan yang padu sebagai mana satu sama lainnya saling
melengkapi dan tetap berpegang teguh pada landasan agama Islam yaitu Al-Quran dan Hadis dan tidak ada unsur
untuk mendominasikan satu cabang saja.
Terkait dalam hal
ini, tentu pemikiran-pemikiran tokoh abad dulu hingga sekarang membawa dampak
yang besar dalam perkembangan pemikiran. Oleh karena itu, berbicara tentang
sebuah pemikiran, maka penulis akan memaparkan tentang pemikiran dari sebuah
kelompok yaitu Ikhwan al-Shafa, yang pada awal munculnya kelompok ini yang alirannya
sama dengan aliran Mu’tazilah, dikarenakan berbagai faktor diantaranya ialah
karena kondisi politik pada saat itu yang melanda kekhalifahan Abbasiyah dan
adanya keinginan dari golongan filsuf yang hendak
menyebarkan filsafat dan sains dengan
cara memadukan antara ajaran syariat Islam dengan filsafat Yunani.
Dengan beberapa hal
yang menjadi faktor munculnya kelompok ini, maka kelompok ini tentunya memiliki
pandangan tentang bagaimana pendidikan itu dilaksanakan.Terkait dalam hal itu,
kelompok ini mengemukan pandangan mereka terhadap
pendidikan. Adapun yang menjadi ranah perspektif mereka yaitu :
1.
Pendidikan
Menurut
Kihajar Dewantoro yang dikutip dalam buku Studi Ilmu Pendidikan Islam
karangan Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, mendefinisikan pendidikan ialah tuntutan segala kakuatan
kodrat yang ada pada anak agar mereka kelak menjadi manusia dan anggota
masyarakat yang dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang setinggi-tingginya. Selaras
dengan pendapat dari kelompok Ikhwan al-Ashafa
bahwa aktivitas pendidikan itu dimulai sejak sebelum kelahiran. Sebab, kondisi
diri bayi dan perkembangannya sudah dipengaruhi oleh keadaan kehamilan dan
kesehatan sang ibu yang hamil. Dengan demikian, perhatian pendidikan harus
sudah harus diberikan sejak masa janin dalam rahim, karena janin berada dalam
rahim selama Sembilan bulan sepuluh hari itu, adalah agar sempurna bentuk dan
kejadiannya.Hal ini, dimaksudkan agar memberi pengaruh positif terhadap
pertumbuhan dan perkembangan intelektual dan kejiwaan janin. Maka dari itu,
kelompok ini menuntut para orang tua, pengasuh
dan pendidik untuk memahami watak dan perkembangan inderawi anak serta
tahapan-tahapannya.
Penetapan adanya
hubungan antara pengetahuan intelektual (kognisi) dengan dasar-dasar fisologis
membukakan jalan bagi kelompok Ikhwan al-Shafa untuk
memformulasikan teori yang kokoh tentang mekanisme terbentuknya pengetahuan
intelektual atau konsep dan dampak induksi terhadapnya.Kelompok ini berpendapat
bahwa para filosof berpikir tentang segala yang ada (al-maujudat), pada awal
mulanya mereka mengamati person-person seperti Zaid, Umar dan Khalid. Lalu
mereka memikirkan person-person lain yang belum mereka amati, yang di masa
yang telah lalu maupun di masa
yang akan datang.
Ikhwan
al-Shafa memandang bahwa ilmudiperoleh melalui dua cara yaitu Pertama, menggunakan panca indera
terhadap obyek alam semesta yang bersifat empirik. Kedua, menggunakan informasi atau berita
yang disampaikan orang lain. Cara kedua ini hanya dapat dicapai oleh manusia
dan tidak dapat dicapai oleh binatang. Kesadaran kuat dari
kelompok ini, terhadap urgensi indera dalam memperoleh pengetahuan dan
imperasinya dalam keberadaan manusia, baik dataran empiris sensual maupun
empiris logis, membawa mereka pada pengapresiasian peran dan fungsi fisik
jasmaniah untuk kebahagian manusia dan kenormalan hidupnya.
Totalitas pendidikan merupakan aktivitas moral, mereka
menyebutnya dengan al-siyasah
al-nafsiyyah, agar moralmu menjadi baik, kebiasaanmu menjadi positif dan
tindakanmu menjadi lurus , mau menyampaikan amanat kepada yang berhak, pandai
mengendalikan diri, menghormati hak orang lain maka ini adalah ke- nifaq-an.Kelompok ini sangat
mengutamakan pendidikan dan pengajaran dan berkenaan dengan pembentukan
pribadi, jiwa dan akidah (avektif).
Dalam
firman Allah SWT, Q.S. An-Nahal (16) : 78
Artinya,
“ dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan dia memberi kamu pendengaran, pengelihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.”
Dari
konteks teks di atas
Ikhwan al-Shafa,
menafsirkannya
bahwa manusia maupun binatang itu dilahirkan kedunia tanpa mengetahui sedikitpun
tentang sesuatu melainkan Allah memberikan panca indera untuk dipergunakan
sebagai alat media untuk mencari ilmu dan mendapatkan ilmu serta
mengaplikasiannya di kehidupan.Kelompok ini berpandangan bahwa ilmu pengetahuan
itu diperoleh haruslah dengan usaha. Usaha yang dimaksud ialah dengan cara
membiasakan berpegang pada pembiasaan dan perenungan. Kelompok ini berpendapat,
“ hendaknya diketahui bahwa pembiasaan dan latihan itu harus dilakukan secara
kontinyu, dan dari pembiasaan ini akan dihasilkan akhlak yang kokoh.
2. Tujuan
Pendidikan
Ikhwan
al-Shafa mengawali pengkajiannya dengan merumuskan
tujuan-tujuan individual dan sosial yang akan direalisasikan melalui aktivitas
pendidikan.Dalam hal ini, Ikhwan al-Shaffah memberikan porsi lebih besar
terhadap tujuan sosial dibandingkan dengan tujuan individual. Ikhwan al-Sahfa,
berpendapat bahwa ilmuwan yang paling membahayakan ialah apabila ditanya tentang
hal yang telah menggejala dan mapan ditengah-tengah dimasyarakat luas tidak
bisa memberikan jawaban (solusi) yang baik dan kritis, melainkan justru larut
dalam kesalahan, penyimpangan dan kebodohan mereka dan asyik menulis
karya-karya “manipulatif” yang menghantam para pakar (ulama’) dan filsuf.
Misalnya penyongkongan terhadap pendapat bahwa ilmu mantik dan ilmu fisika
merupakan bentuk kekufuran dan pakar dibidang ilmu-ilmu dipandang atheis. Setelah
itu, tanggapan kritis yang merusak itu mereka tulis dan dikemas dalam
lembaran-lembaran buku.
Berangkat
dari kerangka pemikiran demikian, Ikhwan al-Shafa,
mengkonsepsikan ilmu bukan sebagai sesuatu yang mengandung tujuan dalam dirinya
sendiri, seperti yang telah dikonsepsi beberapa kalangan. Menurut Ikhawan
al-Shafa,
ilmu itu harus difungsikan untuk pelayanan tujuan luhur kependidikan yaitu pengenalan diri. Perlu diingat, keharusan manusia mengenali
dirinya sendiri bukanlah suatu tujuan akhir melainkan hanya sebagai sarana
perantara menuju kesamaan dan keluhuran manusia secara umum sebab, tujuan
tertinggi pendidikan menurut Ikhan al-Shafa
ialah peningkatan harkat manusia kepada tingkatan malaikat yang suci, agar
dapat meraih ridha Allah. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002: 151-152)
Hal
ini hanya bisa direalisasikan dengan komitmen seseorang terhadap perilaku
moral, sehingga ia sanggup mencapai puncak atas harkat kemanusiaan yang
mendekati tingkatan malaikat dan mendekatkan diri ke haribaan
Allah. Dengan demikian, tujuan
pendidikan yang dipaparkan menurut kelompok Ikhwan al-Shafa,
tujuan pendidikan itu bukan hanya bertitik tolak pada bagaimana manusia bisa
mengenali dirinya sendiri dan menjadi suatu tujuan akhir dari proses pendidikan
itu, melainkan terpusat pada peningkatan manusia sebagai hamba Allah yang
mengabdi dan berbakti pada-Nya untuk
memperoleh keridhaa Allah SWT. Artinya konsep tujuan pendidikan yang diterapkan
oleh Ikhwan al-Shafa ini ialah lebih memperhatikan pada
aspek afektif dan psikomotoriknya dan aspek
kognitif memiliki porsi ketiga dari ketiga aspek lainnya.
Berkaitan
dengan hal tersebut, tujuan pendidikan yang dimaksudkan oleh kelompok Ikhwan
al-Shafa
sejalan dengan konsep tujuan pendidikan Islam, yaitu terbentuknya kepribadian
yang utama berdasarkan pada nilai-nilai dan ukuran ajaran Islam dan dinilai
bahwa setiap upaya yang menuju kepada proses pencarian ilmu dikategorikan
sebagai upaya perjuangan dijalan Allah. (Moh.Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan,
2009 :77)
3. Pendidik
Kelompok
Ikhwan al-Shafa,
menempatkan pendidik (guru) pada posisi strategis dan inti dalam kegiatan
pendidikan. Mereka mempersyaratkan kecerdasan, kedewasaan, kelurusan moral,
ketulusan hati, kejernihan pikir, etos keilmuan dan tidak fanatik buta pada diri pendidik.
Ikhwan
al-Shafa menganggap
bahwa mendidik sama dengan menjalankan
fungsi “bapak” kedua, karena pendidik atau guru merupakan bapak bagi dirimu,
pemelihara pertumbuhan dan perkembangan jiwamu sebagaimana halnya kedua orang
tuamu adalah ‘pembentuk’ rupa fisik biologismu maka guru,’membentuk’ rupa
mental rohaniahmu. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002: 169), Sebab pendidik telah
menyuapi jiwamu dengan ragam pengetahuan dan membimbingnya kejalan keselamatan
dan keabadian, seperti apa yang telah dilakukan oleh kedua orang tuamu yang
menyebabkan tubuhmu terlahir kedunia, mengasuhmu dan mengajarimu mencari nafkah
hidup di dunia fana.Menyangkut kualitas dari seorang pendidik, kelompok ini
berpandangan bahwa kualitas itu tergantung dari bagaimana caranya menyampaikan
ilmu pengetahuan. Keberhasilan
dakwah dan pendidikan sangat tergantung kepada
pendidik yang cerdas, baik akhlaknya, lurus tabiatnya, bersih hatinya, menyukai
ilmu, bertugas mencari kebenaran dan tidak bersifat fanatisme terhadap sesuatu.
Terkait
dalam hal ini, kelompok ini juga merumuskan jenjang seorang pendidik yang oleh
istilah mereka disebut dengan nama Ashab al-Namus. Mereka ialah Mu’allim,
Ustadz dan muaddib.
4. Konsep
Tentang manusia
Kelompok
Ikhwan al-Shafa
memiliki pandangan “ dualistik”[6], tentang konsep dasar
manusia. Mereka membuat formulasi konseptual atas pandangan moral-etik tentang
manusia.Menurut konsep kelompok Ikhwan al-Shafa,
sekiranya manusia itu tersusun dari unsur fisik-biologis dan unsur
jiwa-rohaniah, maka sejatinya kedua unsur tersebut memiliki perbedaan sifat dan
berlawanan kondisinya, namun memiliki kesamaan dalam tindakan dan sifat
aksidentalnya.Karena unsur fisik biologisnya manusia berkecenderungan untuk
kekal di dunia dan hidup selamanya. Sedangkan karena
unsur jiwa-rohaniahnya manusia berkecenderungan untuk meraih akhirat dan
kesalamatan disana.
Walaupun
demikian, pandangan “dualistik” tentang manusia menurut Ikhwan al-Shafa
tidaklah bersifat liberal, melainkan
dibatasi oleh pengakuan akan ragam potensi individual yang unik, antara satu
orang dengan orang lainnya berbeda. Mereka berpandangan meskipun “watak dasar”
setiap individu bersifat genetik bawaan, namun kecenderungan-kecenderungan yang
dimilikinya bersifat ikhtiyariyyat
(hasil berinteraksi dengan lingkungan), sehingga terjadi keragaman antara
individu. Oleh
karena itu, ada individu yang lebih berbakat berwirausaha, ada yang lebih berbakat
dalam dunia keilmuan dan lain-lain.
Ikhwan
al-Shafa
secara halus mencuatkan pengakuan mereka tentang ragam potensi psikomotorik,
kognitif dan afektif pada masing-masing individu.Mereka menganggap kehidupan
sosial bersama ibarat tatanan (sistem) funsional-komplementer, dimana tiap-tiap
potensi genetic bawaan yang dimiliki manusia merupakan alat-alat sistemik
(sub-sub sistem) yang berfungsi spesifik demi tegaknya sebuah tatanan
tersebut.Namun, tidak diragukan bahwa fungsi-fungsi spiritual berada pada hirarki
paling atas dan mulia dibanding fungsi-fungsi lainnya.
5. Epistemologi
Ikwan al-Shafa
Ikwan
al-Shafa
mempunyai pendapat yang berbeda mengenai teori pengetahuan plato yang
menyatakan bahwa jiwa “mengetahui” dengan mengingat ulang apa yang telah
diperolehnya sewaktu berada dalam alam dunia ide, sebelum turun kebumi. Pada
saat jiwa berpindah dari alam ide yang bersifat rohaniah yang menuju alam
material, ia lupa akan pengetahuan yang dulu dimiliknya. Oleh karena itu,
segala sesuatu yang dipelajarinya (dialam material) sebenarnya hanya bersifat mengingat-ulang pengetahuan yang dulu
pernah dimilikinya (di alam ide). Berbeda dengan pandangan dari kelompok Ikhwan
al-Shafa,
mereka menganggap bahwa semua pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiyah.
Berangka
dari teori empiris realistik itu, Ikhwan al-Shafa merumuskan
rasio, “sesungguhnya
rasio manusia tiada lain hanyalah jiwa yang berpikir(al-nafs al-natiqah), dikala manusia berada dalam usia dewasa. Jiwa
pada waktu awal bersatu dengan badan, yaitu periode janin dalam rahim, adalah
sesuatu yang amat sederhaana, tidak berpengetahuan, tidak berakhlak, tidak
berpihak dan tidak beraliran, sebagaimana firmankan
Allah, ‘Allah yang telah mengeluarkanmu
dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apapun’. Ia
hanyalah suatu substansi rohaniah yang hidup dan mempunyai potensi berkembang.
Sewaktu jiwa mendapatkan “impresi[7]”
dan “stimuli” inderawiyah sensual dengan ragam jenis dan macamnya, lalu
dieksperimentasikan. Dengan demikian, jiwa disebut sebagai berakal dan mengetahui secara aktual” . (Muhammad Jawwad Ridla, 2002 : 158-159)
Terkait
dengan epistemologi atau pengetahuan, kelompok Ikhwan al-Shaffah memiliki karya
dintaranya sebagai berikut sesuai dengan yang dikemukakan oleh marguet dengan judul
Para Filosof karangan Muhsin labib,
bahwa Rasa’il Ikhwan ash-shafa wa khullat
al-wafa (surat-surat Ikhwan al-Shaffah dan khulat al-wafa). Kandungan
risalah ini meliputi pemikiran filsafat dan sains, terdiri dari 52 naskah,
disusun menjadi empat kelompok.
1. Tentang
matematika, yang terdiri dari 14 naskah, meliputi
a. Geometri
b. Atronomi
c. Musik
d. Geografi
e. Seni
teoritis
f.
Seni praktis
g. Moral
h. Logika
2. Tentang
ilmu alam dan fisika yang terdiri dari 17 naskah, meliputi
a. Fisika
b. Mineralogi
botani
c. Alam
kehidupan
d. Alam
kematian
e. Batas-batas
kemampuan pemahaman manusia
3. Ilmu
sains tentang pemikiran dan psikologis, terdiri dari 10 naskah yang meliputi
a. Metafisika
b. Pemikiran
tentang waktu
c. Tabiat
cinta
d. Tabiat
kebangkitan kembali dihari kiamat
4. Ilmu
tentang agamadan ketuhanan, terdiri dari 11 naskah yang meliputi :
a. Keimanan
b. Upacara
ritual
c. Aturan
hubungan manusia dengan Tuhan
d. Upacara-upacara
Ikhwan al-Shaffah
e. Ramalan
dan keadaan mereka
f.
Entitas (perwujudan) spiritual
Tindakan(aksi)
g. Tipe
perundangan politik
h. Takdir
i.
ilmu gaib
j.
azimat
Sebagian
besar pemikiran kelompok ini ialah bersifat liberal, meski tetap ingin
memadukannya dengan Islam.
Teks
risalah ini terbit secara lengkap pertama kali tahun 1305-1306 H (1887-1889 M)
di Bombay, tahun 1928 di Kairo yang telah diedit oleh Zikrili, kemudian pada
tahun 1957 di terbitkan
di Beirut.
Pemikiran
kelompok ini yang menonjol ialah di bidang filsafat. Mereka
memandang bahwa syariat hanya cocok untuk orang awam, bagaikan obat-obatan
untuk jiwa yang lemah dan sakit. Pengaruh
risalah merka cukup besar dalam kelanjutan transformasi silsafat Yunani kedunia
Islam, meskipun mendapatkan reaksi cukup keras dari golongan agama.Termasuk
juga dari kelompok teolog (mutakalimin) yang menolak penakwilan al-Quran dan hadis. Bahkan
kalangan filsuf sendiri memandang filsafat yang dikembangkan mereka itu aneh
dan hanya cocok untuk orang awam.
D.
Implementasi
Pemikiran Kelompok Ikhwan al-Shafa di Perguruan
Tinggi Islam
Dalam sub judul
ini, penulis ingin menguraikan beberapa hal yang terkait pada implementasi dari
pemikiran kelompok Ikhwan al-Shafa di Perguruan
Tinggi Islam.
Perguruan
tinggi merupakan salah satu wadah tempat yaitu sebagai proses pendidikan
berlangsung (formal) yang didalamnya memiliki unsur yang tersistem, yaitu ada pendidik
(Dosen), peserta didik (Mahasiswa), tujuan pendidikan, silabus dan lain
sebagainya yang didalamnya saling memberikan kontribusi untuk mewujudkan tujuan
pendidikan yang baik sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita pendidikan yaitu
perubahan yang lebih baik terkait pada suatu peradaban.
Realita
yang ada saat ini ialah hampir semua perguruan
tinggi Islam di Indonesia menerapkan materi ajarnya sebagian besar ialah
tentang ilmu keislaman. Sudah barang tentu kiranya, perguruan tinggi Islam
mendominasikan kegiatan pendidikannya beranah pada pendidikan Islam. Dengan
demikian, perguruan tinggi Islam tersebut menempatkan materi ajar tentang
materi ajar pada level utama. Salah satunya ialah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak, yang kurang lebih 65%
materi ajarnya beranah pada pembahasan tentang ilmu keIslaman. Terkait dalam
hal ini, penulis akan mengulas hasil penelitian terhadap perguruan tinggi Islam
yang ada di Indonesia yang fokus penelitiannya pada Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Pontianak, mengenai implementasi dari pemikiran kelompok
Ikhwan al-Shafa
terkait tentang pendidikan Islam.
Perlu
kita ketahui bahwa, pemikiran kelompok Ikhwan al-Shafa
memandang bahwa pendidikan sangatlah penting untuk dilaksanakan, karena dengan
pendidikan akan merubah seseorang (peserta didik), masyarakat, bangsa, Negara
dan dunia bahkan beberapa peradaban selanjutnya. Bahkan kelompok Ikhwan al-Shafa memiliki
konsep dimulainya proses pendidikan itu sejak manusia masih
menjadi janin didalam kandungan ibunya, dan kelompok Ikhwan al-Shafa
menekankan
bahwa, seorang ibu itu diharuskan menjaga janinnya dengan baik melalui mengatur
pola makan, tidur dan aktifitas sehari-hari agar tidak menganggu perkembangan
janin yang ada didalam kandungannya. Dengan menjaganya dengan baik maka janin
akan tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga melahirkan anak manusia yang
sehat jasmani dan rohani ( normal, sehat dan aktif).
Terkait
dalam hal ini mengenai pendidikan, kelompok Ikhwan al-Shafa
berpandangan bahwa antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan keIslaman tidaklah
dapat dilakukan pemisahan (dikotomi), artinya mereka tidak memisahkan kedua
ilmu pengetahuan tersebut melainkan mengkolaborasikan(integrasikan) antara
keduanya dengan tetap berpegang teguh pada landasan pendidikan (ideal) yaitu al-Quran dan hadis serta pemikiran dari para tokoh.
Berangkat
dari pemikiran kelompok Ikhwan al-Shafa secara garis besar
yang penulis paparkan diatas, boleh kiranya melihat realita yang ada bahwa
banyak di perguruan tinggi Islam yang mengadopsi
dari pemikiran kelompok Ikhwan al-Shafa, salah satunya
ialah STAIN Pontianak.
STAIN
Pontianak merupakan satu-satunya perguruan tinggi Islam di Provinsi Kalimantan
Barat yang menyandang status Negeri, yang tidak beberapa bulan lagi akan alih
statusnya menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Khatulistiwa Pontianak.
Berdasarkan
hasil penelitian penulis bahwa di STAIN Pontianak, adalah salah satu dari
beberapa perguruan tinggi Islam yang mencirikan dari pemikiran dari kelompok
Ikhwan al-Shafa,
dengan pembuktian sebagai berikut :
1.
Visi
dan Misi STAIN Pontianak
“Visi
Sekolah Tinggi adalah sebagai pusat kajian, pengembangan dan pengamalan ajaran Islam serta budaya lokal.”
1)
Melaksanakan pendidikan dan
pengajaran dalam bidang ilmu ilmu keislaman, teknologi dan seni yang bernafaskan Islam secara
proporsional, profesional dan bertanggung jawab.
2)
Mengembangkan ilmu-ilmu keislaman,
teknologi dan seni-seni yang bernafaskan
Islam melalui penelitian, diskusi dan karya ilmiah.
3)
Mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam dengan prinsip keteladanan.
4)
Mensyiarkan nilai-nilai ajaran Islam dan ikut menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan melalui kegiatan
pengabdian pada masyarakat.
5)
Menggali dan mengembangkan budaya lokal sebagai khazanah budaya Islam.
Seyogyanya visi dan misi dari STAIN Pontianak, sejalan
dari salah satu pemikiran dari kelompok Ikhwan al-Shafa yang berkaitan dengan
pendidikan dan tujuan dari pendidikan yaitu mereka memandang bahwa pendidikan
itu merupakan aktivitas moral, dengan mementingkan pengajaran yang berkenaan
dengan pembentukan pribadi, jiwa dan akidah serta sikap (afektif) serta
peningkatan harkat manusia kepada tingkatan yang lebih baik agar dapat meraih
ridha Allah Swt. Dan
tujuan pendidikan yang mereka paparkan bahwa sebenarnya tujuan pendidikan itu
ada dua konsep yaitu individual dan sosial, berkenaan dengan hal itu, tujuan
sosiallah yang menurut mereka yang harus paling utama diperhatikan setelah itu
individual, Karena terkait dengan keummatan. Dari hal tersebut dapat diambil
garis besarnya bahwa STAIN Pontianak, bercirikan salah satu dari pemikiran kelompok
Ikhwan al-Shafa.
2.
Penyusunan
Materi Ajar
Berdasarkan
realita yang telah penulis lalui dan dari hasil dialog bersama mahasiswa
semester 2 dan 8 bahwa, matakuliah mereka diatur sedemikian rupa oleh
pihak lembaga
terkait untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Misalnya, pada semester 2
salah satu matakuliah yang diwajibkan ialah Filsafat Umum, yang substansi
pembahasannya berkisar kepada pemikiran
dari para tokoh filsafat Barat atau Yunani. Pada matakuliah
filsafat umum, peserta didik(mahasiswa) diharuskan dapat memahami
pemikiran-pemikiran dari para tokoh filsafat Yunani tersebut, seperti Socrates dengan teorinya Dialektika, Plato dengan teorinya Idealisme,
dan Aristoteles dengan teorinya
tentang Rasionalisme.
Kemudian
disemester tiga, mahasiswa juga diwajibkan mengikuti matakuliah Ilmu Pendidikan
Islam (IPI) sebagaimana substansi dari pembahasannya ialah mengkolaborasikan
atau mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan
keIslaman, dengan pembukti banyak sekali mengadopsi pendapat dari para tokoh Yunani yaitu seperti Socrates, Plato,
dan Aristoteles serta lain sebagainya. Kemudian ilmu keIslaman dengan banyak
mengadopsi dari pemikiran dari para tokoh muslim, seperti al-Syaibani, M. Athiyah al-Abrasyi dan an-Nahlawi. Dengan tidak
melepaskan dasar atau landasan
pendidikan yaitu al-Quran dan Hadis.
Selanjutnya
pada semester empat, dari pihak lembaga yang terkait yaitu Program Studi
(PRODI) mewajibkan peserta didiknya (mahasiswa) untuk mengikuti matakuliah
Filsafat Pendidikan Islam (FPI), sebagaimana
substansi pembahasannya ialah perspektif-perspektif berkaitan tentang
pendidikan, tujuan, hakikat manusia dan ilmu kajian tentang pendidikan serta lain sebagainya.
Dengan
demikian dari tiga contoh matakuliah yang dipaparkan diatas, yaitu Filsafat
Umum, Ilmu Pendidikan Islam dan Filsafat Pendidikan Islam (FPI)
kiranya dapatlah ditarik garis besar bahwa adanya pengintegrasian antara ilmu
yang bersifat pengadopsian dari Barat dan Islam.
3.
Pendidik
Berangkat
dari sebuah konsep tujuan pendidikan, sebenarnya pendidik itu memiliki
peran penting dalam proses pendidikan karena pendidik dituntut untuk dapat
“MERUBAH” peserta didik untuk
lebih baik. Dengan tetap menanamkan tiga aspek pendidikan yaitu Afektif,
Psikomotorik dan Kognitif, dengan berlandaskan pada al-Quran dan hadis serta pemikiran dari para tokoh.
Dalam
UU No 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS menyebutkan bahwa, pendidik ialah tenaga
kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong bejar,
widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lainnyayang sesuai
dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Berkaca
kembali pada sebuah realita yang ada, bahwa penulis sepakat bahwa para pendidik
(Dosen) di perguruan tinggi Islam saat dulu dan sekarang sejalan dengan konsep
pemikiran yang dikemukakan oleh kelompok Ikhwan al-Shafa
yaitu bahwa seorang pendidik harus memenuhi syarat-syarat berikut ini :
1. Cerdas
2. Memiliki
sikap dan sifat kedewasaan
3. Moral
yang baik
4. Ketulusan
hati
5. Kejernihan
pemikiran
6. Etos
keilmuan
7. Tidak
fanatik
Diperguruan
tinggi Islam, STAIN Pontianak hampir semua pendidik (Dosen) sudah memenuhi
syarat menjadi pendidik dari konsepnya kelompok Ikhwan al-Shafa.
Dari pendidik yang ada di perguruan tinggi ini, penulis memandang bahwa
sebagian besar pendidik yang ada di STAIN Pontianak sudah memenuhi kualifikasi
pendidik sesuai dengan apa yang ada dalam konsep Ikhwan al-Shafa, meski tidak
ingin menyebutkannya secara terperinci.
Sudah barang tentu
kiranya mereka telah memenuhi syarat yang dimaksudkan oleh kelompok Ikhwan
al-Shafa yaitu cerdas, memiliki sikap dan sifat kedewasaan, moral yang baik,
ketulusan hati, kejernihan pemikiran, etos keilmuan dan tidak fanatik terhadap
ilmu yang berkembang. Seperti
halnya pada matakuliah IPI, seringkali materi ajarnya itu banyak mengadopsi
pendapat dari para tokoh Barat dan Muslim . Seperti dalam pembahasan perumusan
tentang hakikat pendidikan Islam, tujuan, pendidik, peserta didik dan komponen
pendidikan lainnya dengan tetap melandasinya
dengan ayat al-Quran dan Hadis.
Misalnya, mengenai tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh Plato, tujuan pendidikan itu ialah” membebaskan dan memperbaharui, lepas dari belenggu ketidak tahuan dan
ketidak benaran.” Sejalan kiranya dengan tujuan pendidikan yang dikemukakan
oleh tokoh muslim yaitu al-Syaibany,
menurutnya tujuan pendidikan itu ialah “ perubahan yang diinginkan yang
diusahakan oleh proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan pada
kehidupan pribadinya atau pada kehidupan masyarakat dan alam sekitar tempat
individu itu hidup atau pada proses pendidikan dan pengajaran sebagai suatu
aktifitas asasi dan sebagai profesi diantara profesi-profesi asasi dalam
masyarakat.”(Moh.Haitami
Salim dan Erwin Mahrus, 2009 :46)
Dari kedua tokoh yang berbeda yaitu berasal dari tokoh Barat dan muslim, pada
dasarnya konsep dari tujuan pendidikan yang mereka paparkan bahwasannya
sama-sama ingin memberikan suatu “PERUBAHAN” baik itu pada diri peserta didik
maupun pendidik. Kemudian
pendapat dari kedua tokoh tersebut bersesuaian dengan ayat al-Quran, surah al-Baqrah ayat 201
Artinya
“Dan di antara mereka ada orang yang bendo'a: "Ya Tuhan kami, berilah
kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa
neraka.”
Yang dalam hal ini, sesuai dengan pendapat dari Imam
al-Qhazali yang mengatakan bahwa tujuan dari pendidikan Islam itu ialah ingin
mencapai kesempurnaan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Al-Qalam ayat 4
Artinya
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar
berbudi pekerti yang agung.”
Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh M. Athiyah al-Abrasy, yang
menyebutkan bahawa tujuan dari pendidikan Islam itu ialah tercapainya akhlak
yang sempurna. Oleh karena itu, pendidikan yang penulis kemukakan diatas sudah
meranah pada menggunakan pemikiran dari kelompok Ikhwan al-Shaffah, sehingga
dapat diambil garis besar bahwa diperguruan tinggi Islam yang ada khususnya
STAIN Pontianak sesuai dengan konsep yang dipaparkan oleh kelompok Ikhwan
al-Shafa.
4.
Peserta Didik
Terkait pada peserta didik, dalam UU No 20 tahun 2003
mendefinisikan bahwa peserta didik ialah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada
jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Sejalan dengan pengertian peserta
didik yang dipaprkan dalam UU No 20 tahun 2003, peserta didik ialah orang-orang
yang sedang memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan maupun arahan dari
orang lain.(Moh. Haitami Salim dan Erwin Mahrus, 2009 : 74)
Merujuk kembali pada konsep pemikiran kelompok Ikhwan
al-Shafa bahwa peserta didik ialah manusia yang ingin mencapai kesempurnaan
dunia dan akhirat. Ini dibuktikan dengan konsep mereka tentang manusia yaitu
manusia tersusun dari unsur fisik-biologis dan unsur jiwa-rohaniah. Maka
sejatinya kedua unsur tersebut memiliki perbedaan sifat dan berlawanan
kondisinya namun memiliki kesamaan dalam tindakan dan sifat aksidentalnya
dikarenakan unsur fisik biologisnya, manusia berkendrungan untuk kekal di dunia
dan hidup selamanya. Sedangkan unsur jiwa-rohaniah manusia berkecenderungan
untuk meraih akhirat dan keselamatan disana.
Oleh karena itu, semua peserta didik(mahasiswa) perguruan
tinggi Islam, khususnya STAIN Pontianak mendambakan akan hal demikian yaitu
ingin mencapai kesempurnaan dunia dan akhirat. Realita yang ada pada saat ini,
hampir disemua perguruan tinggi Islam sangatlah memperhatikan peserta
didiknya(mahasiswa), buktinya ialah dengan mengeluarkan lulusan yang
berdedikasi tinggi, intelektual, profesional, dan berakhlak. Hemat penulis
mengatakan bahwa, perguruan tinggi Islam khusunya STAIN Pontianak telah
mengadopsi pemikiran dari kelompok Ikhwan al-Shafa dalam hal memandang fungsi,
hak dan kewajiban dari peserta didiknya(mahasiswa) dengan memperhatikan lulusan
yang dikeluarkan. Dalam
hal ini, menurut penulis STAIN Pontianak meranah pada pola dimensi Moderat
Fundamental karena melihat dari beberapa unsur yang terkait seperti kualifikasi
para pendidiknya, tujuan pendidikan yang dicantumkan dan materi ajar atau
silabus yang digunakan oleh perguruan tinggi Islam tersebut lebih mencondongkan
pada pola tersebut. Sehingga tidak sedikit pola-pola yang digunakan oleh
pendidik (dosen) saat menyamapaikan perkuliahan selalu menengahi pendapat yang
dipaparkan oleh mereka yang mereka kutip dari berbagai tokoh baik itu Yunani
(barat) maupun islam (muslim). Namun tetap tidak dapat dipungkiri juga bahwa di
sekolah tinggi Islam ini juga masih ada yang menerapkan pola dimensi
fundamentalisme, yang tak perlu penulis paprkan dalam hal ini. Kemudian, STAIN
Pontianak juga dalam hal mengintegrasikan ilmu pendidikan meranah pada integrasi penyekat, artinya masih
ada unsur penyekat yang dilakukan oleh perguruan tinggi Islam ini dalam hal
penyatuan ilmu dari Barat dan Islam.
Dapat
kiranya penulis gambarkan skema pola dimensi dan integrasi yang digunakan oleh
perguruan tinggi Islam, STAIN Pontianak sebagai berikut :
Skema pola dimensi
respon pemikiran yang diterapkan oleh perguruan tinggi Islam, STAIN Pontianak
Gambar 1.7
Skema pola
Integrasi filsafat Barat dan Islam yang diterapkan oleh perguruan tinggi Islam,
STAIN Pontianak
Gambar 1.8
Oleh
sebab itu, sudah barang tentu dapat disimpulkan diperguruan tinggi Islam
studi kasus STAIN Pontianak, telah mengadopsi pemikiran dari kelompok Ikhwan al-Shafa tentang pendidikan Islam, baik itu dari
pemahaman tentang pendidikan, tujuan pendidikan , materi ajar dan peserta didik
maupun dari segi visi dan misi dari perguruan tinggi tersebut.
Dengan
demikian, penulis berharap mudah-mudahan kedepannya STAIN Pontianak kedepannya
lebih baik dalam menata berbagai hal yang berkaitan dengan perkuliahan, baik
itu dari segi pedidik (dosen) dalam hal kualifikasinya, materi ajarnya sehingga
tidak lagi akan adanya integrasi penyekat yang diterapkan oleh STAIN Pontianak
melainkan integrasi kolaborasi yang diterapkan oleh lembaga tersebut.
E.
PENUTUP
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa bagaimanakah sejarah munculnya kelompok
Ikhwan al-Shafa.
Secara kronologis kehadiran kelompok ini pada masa kekhalifahan Abbasiyah.
Mereka muncul pada tahun ke 4 H atau bertepatan pada tahun ke 10 M. mereka
muncul di daerah baghdad tepatnya di Basra. Kemunculan mereka dilatar belakangi
beberapa faktor diantaranya ialah situasi politik pemerintahan pada saat itu
yang kurang baik yang tidak memihak pada masyarakat, kemudian ada keinginan
dari kelompok ini untuk melakukan gerakan kebangkitan untuk memperoleh jalan
yang lebih baik.
Terkait
dengan pemikiran kelompok ini tentang dunia pendidikan Islam, mereka
berpandangan bahwa ada beberapa hal yang mendukung jalannya roda sistem
pendidikan islam itu yaitu, adanya tujuan pendidikan yang ingin dicapai, adanya
pendidik yang profesional yang akan mendidik peserta didik, dan peserta didik
yang akan menjadi objek sasaran pendidikan.
Kelompok
ini, berpendapat bahwa tujuan pendidikan itu bukanlah yang terkait dengan
sebuah tujuan individual sebagai tujuan terakhir melainkan tujuan sosiallah
yang menjadi tujuan tertinggi dalam proses pendidikan itu.
Berkaitan dengan
pengimplementasian dari pemikiran kelompok Ikhwan al-Shafa di perguruan tinggi
Islam, jika dilihat dari konsep yang dikemukakan oleh mereka baik itu dari
pandangan mereka terhadap pendidikan, tujuan pendidikan, pendidik, peserta
didik dan materi ajar sudah berkesesuaian dengan konsep hampir di seluruh
perguruan tinggi Islam. Studi kasus pada STAIN Pontianak, dilihat dari visi dan
misi lembaganya sudah berkenaan dengan tujuan pendidikan secara kontekstual
yang dimaksudkan oleh kelompok ini, yaitu meningkat harkat manusia kepada
tingkatan malaikat yang suci agar dapat meraih ridha dari Allah SWT. Kemudian
dari segi pendidik, peserta didik, lembaga perguruan tinggi islam ini seyogyanya menjunjung tinggi akan hak dan kewajiban dari pihak tersebut dengan
memperhatikan fungsi dan kedudukan masing-masing.
Dapatlah penulis simpulkan bahwa di
perguruan tinggi Islam, STAIN Pontianak memenuhi kualifikasi konsep pendidikan yang
dipaparkan oleh Ikhwan al-Shafa.
Segala syukur kita haturkan kepada
Dzat yang maha Agung yang telah memberikan kepada penulis sebuah inspirasi yang
insya Allah bermanfaat sebagai bentuk kasih sayang Dzat maha Dahsyat kepada
hambanya. Serta
shalawat salam kepada Rasul-Nya yang dimuliakan sebagai pintu gerbang
terbukanya segala ilmu dari Dzat pembuat ilmu. Selanjutnya sebagai manusia yang
pasti mempunyai salah dan lupa, penulis mengharapkan saran dan kritik dari
saudara pembaca yang budiman guna kesempurnaan makalah ini dan makalah yang
mendatang, serta untuk penyemangat bagi penulis khususnya dan teman-teman
pembaca yang budiman umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyimsyah
Nasution. 2001. Filsafat Islam.
Bandung : GAYA MEDIA PRATAMA
Moh. Haitami,
Salim dan Erwin Mahrus. 2009. Filsafat pendidikan Islam.
Pontianak : STAIN Pontianak Press
Moh. Haitami,
Salim dan Erwin Mahrus. 2012. Filsafat
Pendidikan Islam. Pontianak : STAIN Pontianak Press
Moh. Haitami,
Salim Syamsul Kurniawan. 2009. Studi Ilmu Pendidikan Islam.Pontianak :
STAIN Pontianak Press
Muhammad,
Jawwad Ridla. 2002. Tiga Aliran Utama
Teori Pendididkan Islam.Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya
Muhsin,
labib. 2005. Para Filosof Sebelum dan
Sesudah Mulla Shadra. Jakarta : Al-Huda
Mustofa.
1997. Filsafat Islam. Bandung :
PUSTAKA SETIA
Tim
Penyusun, 2007. UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan UU No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta Selatan :
Transmedia Pustaka
“Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI)” , http://kbbi.web.id/ (akses
internet tanggal 22/04/13, pukul 19.45 Wib)
[1]Kemampuan
untuk menerapkan pengetahuan atau pengalaman atau rasionalisme atau wawasan
[2]
Perasaan simpati seseorang
[3]keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran
(politik, agama)
[5] http://kbbi.web.id/
[7]Pengaruh yang kuat terhadap pikiran dan perasaan
Created By : Mulyadi (Pelopor UKM DB GSK 2012-2013)